Jumat, 23 Oktober 2009

PORDAFTA DAN BERITA DI BALIK BERITA



Untuk tulisan ini, yang dimaksudkan dengan Florata adalah akronim untuk Flores dan Lembata sebagai sebuah identifikasi untuk salah satu wilayah kepulauan di NTT yang sedang bergulat untuk maju dalam berbagai bidang pembangunan. Dalam wilayah Florata terdapat sembilan kabupaten dan kini semakin dikenal dengan julukan Negeri Sembilan, nama yang pernah kesohor pada zaman pemerintahan raja-raja dahulu.



Pada tanggal 26 September 2009 yang lalu, Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya telah berkenan membuka Pekan Olahraga empat tahunan, Pordafta ke-3 tahun 2009 ini. Pesta Olahraga tersebut kemudian ditutup oleh Bupati Sikka Drs. Sosimus Mitang pada tanggal 2 Oktober 2009 dalam suatu pawai kemenangan atlit yang membanggakan. Pawai ini tidak hanya menjadi kenangan yang dibanggakan para atlit peraih medali saja. Secara generatif, pawai kemenangan itu juga menjadi kebanggaan warga Florata karena memiliki satu generasi baru yang mulai melihat begitu pentingnya kompetisi untuk prestasi tanpa meninggalkan dendam kesumat diantara sesama atlit. Kalau tokh ada perasaan semacam itu, bagi setiap insan olahraga akan ditata secara positif dan professional berkerangka peningkatan prestasi untuk menghadapi ajang pertarungan berikutnya.

Pelaksanaan Pekan Olahraga ini tentu menguras banyak biaya yang mesti ditanggung oleh kesembilan Pemerintah Daerah untuk para atlit dan kontingen. Bentuk dukungan lain dari setiap pemerintah kabupaten, masyarakat dan keluarga juga tidak sedikit demi menghantar setiap atlit ke arena Pordafta dalam kesiapan yang paripurna. Penggemblengan para atlit oleh pelatih dan tim official melalui latihan-latihan yang intensif, kerelaan orang tua untuk melepas putra-putri mereka ke arena tersebut dengan berbagai konsekuensi. Bahkan rela menghadapi kemungkinan terburuk seperti kalah, terluka atau cedera.

Tidak dapat disangkal bahwa semua dukungan itu bermuara pada performance kontingen di tengah pertarungan olahraga prestasi ini. Nama dan harga dri kabupaten menjadi taruhannya.

Selain hal terakhir ini, dibalik ramainya tempik sorak para pendukung yang secara tidak sadar mempertontonkan moralitas perang, tentu masih ada banyak hal lain yang bisa kita petik. Kompetisi ketangkasan seperti halnya moralitas perang yang dimiliki seekor Elang dalam menghadapi seekor Merpati ternyata masih menyiratkan dan menyisakan dimensi lain yang kaya makna Pertanyaan “mengapa (?)” justru menjadi titik-tolak untuk pencarian makna dalam proses refleksi tentang Pordafta.

Salah satu pertanyaan yang boleh diajukan di sini adalah mengapa justru kawanan Merpati yang dilepas pada seremoni pembukaan Pordafta kali ini dan bukannya Elang? Jawabannya, , karena Merpati menjadi sponsor tunggal dari seluruh event ini. Kawanan burung peliharaan itu dilepas untuk terbang menuju sebuah kompetisi terbuka dengan berbagai resiko. Terluka dan kalah atau kembali pulang sebagai pemenang, dan mendapat julukan The Winner. Baik yang terluka maupun the winner, merpati tak pernah kehilangan naluri berkomunitas. Mereka tetap terbang bersama dalam kawanan menuju lokasi yang tersedia cukup pangan dan air. Kawanan Merpati mengajarkan dictum Persaudaraan kepada para atlit, semua kontingan dan masyarakat Florata. Puluhan Spanduk Pordafta 2009 mencantumkan pesan tentang pentingnya menggalang persaudaraan dan solidaritas di persada nusa bunga Florata. Seperti ungkapan merpati tak pernah ingkar janji demikian pula rakyat dan para pemimpinnya. Pordafta hanyalah masa jeda diantara gerak langkah dalam menata negeri sembilan ini mejadi sebuah kawasan yang lebih makmur dan bermartabat sebagai wujud cita-cita dan perjuangan bersama.

Sebaliknya Elang tidak laku sebagai sarana penyemarak seremoni Pordafta karena jenis burung pemangsa ini tak punya naluri kesetiakawanan. Ia terlalu egois; mau berteman ketika libido seksualnya bangkit. Setelah itu ia kembali berjibaku di alam raya sambil mengibarkan spanduk yang bertuliskan prinsip-prinsip hukum rimba. Perlu dimaklumi bahwa lawan atau mangsa yang dicari hewan berparu ini pada umumnya makluk lemah seperti Merpati. Konon, dalam dunia margasatwa hanya Elang yang belum mempertanggung jawabkan keperkasaannya dihadapan sang Raja rimba raya.

Contoh lain adalah dua hal signifikan yang sejauh pengamatan saya belum tersentuh oleh pena para pemburu berita. Yang pertama, penurunan baliho raksasa yang memuat iklan rokok Surya di depan Gelora Samador dan yang kedua adalah pernyataan serta himbauan Gubernur Propinsi NTT Frans Lebu Raya tentang kewajiban para atlit Pordafta untuk membangun satu barisan generasi yang kuat guna melawan Narkoba.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Bupati Sikka dengan latar belakang profesinya sebagai seorang dokter, Ketua Panitia Penyelenggara dr. Wera Damianus, M.M menginstruksikan pengusaha Gudang Garam Surya untuk segera menurunkan iklan rokok tersebut karena tidak sejalan dengan prinsip olahraga yang menjunjung tinggi kesehatan masyarakat dan insan olahraga. Rokok sebagai drakula yang mengancam ketangguhan para atlit tidak punya tempat dalam dunia olahragawan dan di sekitar arena olahraga. Event Pordafta kali ini memang bukan merupakan kesempatan emas bagi pengusaha rokok untuk meraup untung. Tapi produk kenikmatan satu ini terlihat masih punya tempat di saku celana sejumlah official dan pelatih. Di sela-sela pertandingan mereka mengepulkan asap rokok, juga dihadapan para atlit binaannya. Sesuatu yang tidak elok untuk dipertontonkan

Gubernur NTT Frans Lebu Raya dalam pidato pembukaan Pordafta menegaskan permintaannya kepada para atlit, official dan masyarakat khususnya generasi muda untuk senantiasa membangun kekuatan melawan narkoba (narkotika, psikotropika dan bahan adktif alinnya). Namun hingga hari terakhir penyelenggaraan Pordafta isu ini belum mendapat porsi dalam pemberitaan media masa. Bisa saja rekan-rekan wartawan mengacukan hal ini karena tak pernah ada tindakan eksploratif berupa test urine terhadap para atlit. Kalau saja pihak panitia penyelenggara melakukannya maka kegiatan dan hasil test itu akan mejadi berita besar bagi masyarakat Florata.

Tindakan dr. Wera Damianus dan pernyataan Gubernur NTT Frans Lebu Raya adalah hal yang amat berharga khususnya bagi kehidupan para atlit. Dua produk kenikmatan ini yakni rokok dan narkoba pada umumnya telah menjadi sebuah arus deras yang tengah diperangi oleh semua insan olahraga dengan membangun moralitas kesenangan. Secara sepintas istilah ini bisa mejerumuskan kita pada pengertian tentang keleluasaan badan untuk bersenang-senang. Sebaliknya, justru kaum humanis menggunakan istilah ini untuk menitik-beratkan orientasi mendisiplinkan badan. Moralitas kesenangan tidak sama dengan menahan nafsu melainkan mengarahkan nafsu secara positif agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena itu aktivitas olahraga menjadi pilihan sempurna untuk mengarahkan keinginan-keinginan destruktif. Olahraga menjadi kutub pembebas yang dapat menyelamatkan jiwa yang sedang dibayangi hasrat negatif. Aktivitas olahraga juga dapat lebih menyehatkan dan menjamin stabilitas daya tahan tubuh atau stamina yang merupakan prasyarat dalam kompetisi dan pertandingan olahraga. Jika seorang olahragawan mengkonsumsi narkoba termasuk rokok, maka ia sebetulnya telah mundur selangkah. Karena aliran darah yang telah terkontaminasi narkoba akan menyulitkan kerja otak dalam membangun konsentrasi yang sangat dibutuhkan demi suksesnya sebuah pertandingan. Dalam buku Making Sense, Julian Baggini, menyodorkan sebuah contoh yang cukup ekstrim tentang pemecatan seorang presenter program TV anak-anak yang memegang jam siaran terpanjang di Inggris. Presenter itu dipecat setelah mengaku sebagai pengguna kokain. Ia kemudian meminta maaf kepada pemirsa karena telah mengecewakan mereka.

Olahraga adalah aktivitas manusia yang amat penting dan mengandung nilai universal. Filsuf dan sastrawan Perancis Albert Camus memandang sport atau kegiatan olahraga sebagai sumber pembelajaran moralitas manusia. Demikian halnya dari event seperti penyelenggaraan Pordafta. Menurut pandangan Camus, kegiatan olahraga dapat menjadi suluh bagi masyarakat yang menghendaki sebuah kehidupan yang menghibur, sehat dan bermartabat serta bebas dari berbagai tekanan baik yang berkaitan dengan faktor ekonomi maupun konflik sosial dan politik.

Sebagai makluk sosial, masyarakat membutuhkan solidaritas dan ingin hidup bersaudara tanpa mengkhianati prinsip kompetisi dalam olahraga. Konflik sebagai candu peradaban solider menjadi salah satu mandat terbuka dari sebuah arena pertandingan untuk para pemimpin agar mereka selalu tampil sebagai tokoh yang sejuk dan berusaha sejauh mungkin mengikis kecenderungan-kecenderung yang mengarah kepada terjadinya konflik. Misalnya, menghindari orientasi kepentingan pribadi atau kelompok dalam suatu wadah, organisasi masyarakat atau organisasi sosial politik. Konflik juga bisa beranak-pinak dari beda pendapat atau persepsi yang mengakibatkan melemahnya asas perjuangan dan cita-cita bersama jika tidak segera dipertemukan dan didamaikan. Olahraga prestasi seperti yang dipertandingkan dalam Pordafta selama ini mengajarkan banyak keutamaan bagi kehidupan masyarakat seperti sportivitas, ulet dan disiplin serta bersedia mengakui keunggulan orang lain. Seorang wasit yang mempimpin pertandingan wajib menampilkan sikap cermat dan adil, mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat dengan tidak berpihak pada kubuh atau atlit tertentu. Persaudaraan masyarakat Florata yang digalang melalui pesta olahraga ini harus diberi roh atau spirit. Roh dan spirit itu tidak lain adalah nilai-nilai yang secara implisit ada dalam semua cabang olahraga.

Ajakan untuk membangun solidaritas dan persaudaraan antara sesama warga Florata adalah bagian dari tindakan mengubah negeri sembilan ini menjadi lebih maju dan bermartabat. Harapan tersebut tidak mustahil kalau serumpun nilai sebagaimana tersebut diatas telah menjadi landasan yang kokoh dalam seluruh aktivitas pembangunan yang sedang berjalan. (kanislewar/humassikka)

Tidak ada komentar: