Rabu, 24 Maret 2010

Berita, Senjata Pembunuh Mematikan

“Berbuatlah yang benar, supaya membaca berita yang benar. Karena wartawan juga manusia ” Berita adalah sajian data yang ditulis wartawan (pencari berita alias kuli tinta ) berdasarkan fakta baik dari peristiwa (kejadian) yang dialami, disaksikan sendiri atau dari pendapat orang lain yang memiliki nilai penting, menarik, mendidik, menghibur dan bersifat informatif bagi pembaca yang dipublikasikan melalui media dari sebuah perusahaan pers. Atau, berita adalah informasi terbaru mengenai sesuatu yang sedang atau sudah terjadi yang memiliki nilai penting, menarik, mendidik atu menghibur yang disajikan melalui cetak, elektronik (radio dan televisi), internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak. Sebuah peristiwa atau pendapat yang akan dijadikan sebuah berita tentunya harus memiliki etika dan tidak lepas dari sebuah proses sebelum dipublikasikan kepada massa.
Wartawan bukanlah “kuli tinta”yang beritanya harus dengan mudah dapat dipercaya, baik oleh redaksi maupun pembaca. Untuk itu, setiap pemberitaan yang dikirim wartawan hendaknya perlu dikroscek kembali oleh redaksi dan oleh pembaca tidak harus dengan mudah mempercayai pemberitaan media yang ditulis wartawan. Mengapa ? Karena dalam penulisan sebuah berita ada beberapa hal yang mempengaruhi wartawan sehingga berita tersebut dibuat dan dikirim ke redaksi untuk dipublikasikan :
  1. Rendah Pengetahuan sebagai Wartawan ; ada wartawan yang direkrut oleh perusahaan pers tanpa mengukur pengetahuan secara jelas dan latar belakang pendidikan melalui sebuah tes. Yang ada adalah langsung diangkat jadi wartawan hanya melalui masa percobaan dengan lama waktu tertentu. Akibatnya penulisan berita asal jadi, bahkan berita dibuat dengan data yang tidak valid, data yang belum tentu benar. Bahkan berita dibuat karena “ dengar – dengar “ dari nara sumber yang disembunyikan alias nara sumber yang tidak mau menyebutkan namanya. Bisa saja berita ini dibuat atas oppini / pendapat wartawan itu sendiri, dengan nara sumber yang tidak mau menyebutkan namanya sebagai benteng. 
  2. Rasa Solidaritas; Penulisan berita dilakukan karena ada rasa solidaritas yang kuat karena sebuah jalinan persahabatan, baik antara pelaku maupun korban dalam sebuah kejadian atau peristiwa. Sekalipun sang kuli tinta memahami bahwa apa yang sedang terjadi belum tentu menarik, belum tentu penting, belum tentu mendidik dan belum tentu menghibur. Semisal : ada rekan wartawan dipukul karena membuat pemberitaan miring, tidak benar dan tanpa wawancara dengan pihak terkait. Maka yang dimuat adalah kasus pemukulan, dan meniadakan sebab kejadian, sehingga berita menjadi tidak lengkap dan menimbulkan pertanyaan, kenapa ada asap dari kayu yang tak ada apinya ? 
  3. Mendapat Pengaruh; ada juga wartawan yang menulis berita karena mendapat pengaruh dan intervensi (campur tangan) yang berlebihan dari nara sumber pertama yang menjadi pemberi informasi. Hal ini biasanya terjadi karena latar belakang SARA (suku, agama dan ras) yang sama, sepaham atau memiliki rasa dendam yang sama antara wartawan dan sumber informasi terhadap korban / obyek pemberitaan. Sehingga wartawan dengan serta merta menulis berita tanpa menggali lebih jauh untuk mendapatkan data yang valid layaknya sebuah berita yang benar, saya sebut ini dengan mawar (kepanjangannya : mafia martawan). Misalnya penulisan berita SMP Negeri 3 Maumere yang selama berita tersebut dimuat dan dipublikasikan sejumlah media di NTT, Kepala SMP Negeri 3 Maumere, Paulus Depa tidak pernah dikonfirmasi (diwawancarai). Inikah sebuah berita ? sebuah berita harus lengkap, adil dan imbang. 
  4. Terpengaruh Uang atau ada Perjanjian Intern; sebuah berita dibuat oleh wartawan karena diiming – imingi uang dan janji kedalam (intern), biasa melakukan ini terhadap wartawan adalah pejabat atau orang berduit. Benar, bahwa wartawan adalah manusia yang juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mimpi – mimpinya. Sekalipun ia sadar bahwa menulis berita karena iming – iming uang dan janji, ia telah mempertaruhkan kepercayaannya dan nama baik media. Hal ini bisa saja karena sistem penggajian perusahaan pers yang tidak jelas. 
Kesalahan penulisan berita atau penulisan sebuah berita yang tidak sesuai fakta peristiwa atau tidak sesuai opini dari orang yang diwawancarai akan ada korban dari sebuah pemberitaan itu. Karena berita bisa menjadi alat senjata pembunuh, baik bagi perusahaan pers (media), wartawan dan obyek pemberitaan. Serta akan menimbulkan beberapa dampak, antara lain nama baik ternoda, opini massa pembaca yang tidak terarah, jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap media dan berdampak pada kematian wartawan maupun obyek pemberitaan karena sesuatu yang tidak bisa diramal. Padahal dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, jelas menyebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Dan pada pasal 8 UU itu juga dikatakan, Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Sementara itu pada Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Untuk itulah sebabnya, redaksi (radaktur) tidak serta menerima dan menjadikan setiap berita sebagai materi yang layak untuk dipublikasikan. Namun harus diuji terlebih dahulu kebenarannya, dengan melakukan kroscek kepada wartawan, narasumber dan pihak lain yang berkaitan dengan pemberitaan tersebut. Terhadap pemberitaan semacam ini wartawan, redaksi dan perusahaan pers selalu berlindung pada hak jawab, konferensi pers dan konfirmasi (press release) dari korban pemberitaan. Dalam Wikipedia Indonesia, Redaktur, yang juga lazim disebut sebagai editor, adalah orang yang melakukan penyuntingan (editing) dan juga melengkapi naskah-naskah berita yang ditulis oleh wartawan atau reporter. Redaktur umumnya berasal dari reporter lapangan yang dalam karirnya kemudian naik menjadi redaktur muda, madya dan kemudian redaktur kepala atau redaktur bidang, yakni yang membawahi bidang tertentu (seperti politik, pertahanan keamanan, ekonomi, perkotaan, hukum kriminal, olahraga) atau halaman tertentu di media cetak. Redaktur yang cemerlang karirnya bisa diangkat menjadi Redaktur Pelaksana ataupun Redaktur Eksekutif, yakni orang yang memimpin pelaksanaan harian operasi sebuah redaksi media cetak ataupun elektronik. PROSES HUKUM MEDIA DAN WARTAWAN Terhadap pemberitaan yang tidak benar, tidak sedikit media (perusahaan pers) dan wartawan yang harus menjalani proses hukum, ada juga wartawan yang diculik, dipukul dan mati dibunuh. Namun media dan wartawan tidak mau tahu dengan itu namun terus mengibarkan bendera dan menuntut kebebasan pers. Indonesia adalah negara hukum, siapa saja yang ada di Indonesia tidak kebal terhadap hukum. Untuk itu, sebabnya kesalahan dalam penulisan berita, atau penulisan berita yang melanggar kode etik harus diakui kalau itu salah. Menulis yang benar tentu baik bagi semua orang. Solidaritas yang dibangun sesama wartawan begitu kental dan akrab hendaknya tidak sekedar membangun persaudaraan. Namun melalui solidaritas tersebut, antar wartawan harus saling mengingatkan. Mendukung bila benar dan berani menyatakan salah bila ada sesama wartawan yang melakukan kesalahan. Kesalahan karena kekeliruan adalah hal yang wajar dibuat manusia, tapi kekeliruan yang sengaja dibuat oleh wartawan untuk maksud tertentu adalah kesalahan. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan untuk meningkatkan kehidupan pers nasional dibentuk Dewan Pers yang independen. Selain untuk melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers juga berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Terhadap pemberitaan yang tidak benar, karangan wartawan korban berita bisa membuat pengaduan ditujukan kepada Dewan Pers, alamat Gedung Dewan Pers Lantai VII, Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta 10110. Telepon: 021-3521488, faksimil: 021-3452030, Email: dewanpers@cbn.net.id. (sumber : unionpers.wordpress.com). Karena dalam BAB V Pasal 15 ayat 02 UU 40/1999 tentang PERSDewan Pers berfungsi : a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; g. mendata perusahaan pers. Mari kita berbuat yang benar, sehingga kita bisa dapat membaca berita yang benar. Karena wartawan juga manusia yang kerap melakukan kesalahan. Maaf, adalah kata akhir yang tepat untuk mendapatkan surga. Menulislah yang benar, supaya tidak banyak yang dikorbankan karena pemberitaan yang salah dan disengaja. (JOHN ORIWIS)

Tidak ada komentar: